Tanda Tanya di Sepak Bola Kita
PSCS merayakan keberhasilan menjuarai Piala Bupati 2016 pada 24 Januari 2016 di Cilacap.
“Bung, bagaimana masa depan sepak bola kita? Benarkah kompetisi resmi segera bergulir? Ah, percuma saja ada kompetisi, nggak bakal ada prestasi dari sepak bola kita.”
Pertanyaan di atas adalah bagian dari bahan diskusi ketika saya bertemu pembaca berita olah raga atau penonton siaran sepak bola di layar kaca. Ingatan saya mundur empat tahun lalu.
Dalam salah satu tulisan di Weekend Story, saya pernah bercerita tentang situasi percakapan yang tak jauh berbeda. Berikut adalah sebagian dari artikel tersebut:
"Seberapa baik sebenarnya kualitas pesepak bola muda kita untuk bisa berkompetisi di Eropa?" Begitu materi lawan bicara saya ketika itu sambil menyantap makan siang.
Ia kemudian menyebutkan nama beberapa anak muda yang dia kenal dari sejumlah media. Dari Andik Vermansah hingga Syamsir Alam.
Ada nada keraguan walau terbersit harapan akan kemunculan pesepak bola muda Indonesia yang benar-benar dikontrak oleh klub luar negeri, terutama liga-liga Eropa.
Sungguh tidak mudah memilih kata-kata untuk memuaskan sang kenalan. Saya paham, ia ingin sekali membaca berita tentang pesepak bola Indonesia di media luar negeri, yang dianggap lebih mampu memaparkan kebenaran ketika menilai kualitas pesepak bola.
Well, saya punya dua perumpamaan untuk membantu si teman memahami kondisi sepak bola di Tanah Air.
Pertama tentang sepak bola dan tanah subur. Sebaik apapun benih yang kita tanam, tetapi bila tanah habitatnya adalah bebatuan, biji tersebut itu tak akan mampu tumbuh subur dan memberi kita buah.
Anggaplah benih itu anak-anak muda Indonesia yang penuh bakat dan bermimpi menjadi pesepak bola profesional. Bisakah mereka berkompetisi di liga-liga Eropa yang biasa kita saksikan di layar televisi?
Kompetisi sepak bola Indonesia adalah tanah tempat bibit-bibit unggul itu tumbuh. Siapa yang berani menjamin Liga Indonesia, dengan tanda tanya besar saat ini, membantu mereka tumbuh dan berkembang dengan maksimal?
Untuk bermain di sebuah liga top Eropa harus memerhatikan sejumlah aspek, termasuk peringkat negara dan kontribusi si pemain terhadap tim nasional.
Jangan lupakan aspek mendasar, yakni habitat sepak bola yang dimiliki bibit-bibit unggul Indonesia saat ini lebih tepat bila kita sebut semak berduri.
Cekcok dan pembunuhan karakter merupakan wajah sepak bola kita. Hal ini tak hanya terjadi di tubuh federasi, juga menggerogoti klub-klub di Tanah Air.
Apa yang akan terjadi dengan benih unggul yang hidup di semak berduri? Ia akan tumbuh dengan susah payah, layu, dan kemudian mati tanpa sempat berbuah.
Untuk perumpamaan kedua, saya teringat kisah kutu dan kotak. Ada dua ekor kutu dengan habitat yang berbeda. Kutu yang pertama hidup di antara bulu-bulu seekor anjing. Kutu kedua tinggal di dalam sebuah kotak.
Kutu mana yang punya lompatan lebih tinggi? Kutu yang hidup di dalam kotak tak akan bisa menyaingi temannya yang hidup bebas. Setiap kali ia melompat tinggi, tubuhnya akan membentur atap kotak.
Rutinitas seperti itu membuatnya tak lagi mau melompat melebihi kotak. Ketika dikeluarkan dari sangkarnya, lompatan si kutu hanya setinggi kotak yang selama ini membatasi ruang geraknya.
Dalam sepak bola, kotak itu merupakan keyakinan kita. Salah satu kegagalan pesepak bola Indonesia adalah karena kita kerap membatasi kemampuan dengan keyakinan hidup dalam kotak.
Sikap puas dan cepat bangga terhadap kemampuan yang sekarang juga sama dengan kotak yang mengurung si kutu.
Bukankah usaha manusia sesungguhnya tidak mengenal batas? Apapun hasilnya, usaha kita yang akan menentukan. (Sabtu, 21 Januari 2012)
0 comments :
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.