Breaking News
Loading...
Wednesday, December 23, 2015

Gol Messi yang Mengenyahkan Rasa Dingin dan Kantuk di Stadion Yokohama


ShadowPrediksi -Jam di tangan menunjukkan angka 5. Masih sesore itu langit sudah gelap, tulang-tulang serasa ditusuk jarum saking dinginnya udara.

Kira-kira begitulah yang saya rasakan saat tiba di Yokohama International Stadium hari Minggu (20/12/2015) kemarin, menjelang pertandingan final Piala Dunia Antarklub antara Barcelona melawan River Plate.

Bersama dua rekan wartawan dari Tanah Air, kami tidak menyia-nyiakan kesempatan berada di Negeri Sakura untuk menyaksikan langsung pertandingan tersebut. Atmosternya memang tidak terlalu "wah" -- mungkin karena olahraga nomor satu Jepang tetaplah bisbol--, tapi tetap saja terlalu berharga untuk dilewatkan.

Dinginnya Jepang membuat saya betah berlama-lama menyimpan telapak tangan ke dalam saku jaket – setelah dari saku itu saya harus mengeluarkan uang sebesar 32 ribu yen – sekitar Rp 3,5 juta—untuk membeli tiket pertandingan, dan itu pun hanya untuk kelas tribun atas.

Dari tempat kami menginap di Tokyo, dibutuhkan waktu sekitar sejam untuk mencapai stadion itu menggunakan kereta. Dari stasiun Shin-Yokohama, stadion masih berjarak hampir 2 kilometer dengan berjalan kaki.

Stadion Yokohama sudah menjadi ikon tersendiri untuk masyarakat Jepang, karena di tempat inilah pernah digelar sebuah pertandingan final Piala Dunia. Pada 30 Juni 2002, Brasil menjadi juara dunia untuk kelima kalinya setelah menundukkan Jerman dengan skor 2-0, lewat gol-gol Ronaldo Luis Nazario de Lima.

Untuk mengenang momen bersejarah itu Yokohama punya cara yang unik untuk mengabadikannya. Di pelataran depan stadion, dibuat prasasti kecil di depan pintu utama stadion berbentuk lingkaran. Prasasti itu
bertuliskan hasil pertandingan plus susunan pemain serta cadangan dari masing-masing tim.


Dibuat pula cetakan kaki bek kanan Brasil, Cafu, dan tangan kiper Jerman, Oliver Kahn, yang di pertandingan itu menyandang ban kapten untuk tim masing-masing. Cetakan itu terinspirasi sebuah adegan selepas final. Di tengah perayaan kemenangan Brasil, Cafu menghampiri Kahn yang sedang duduk termenung di tiang gawang. Cafu menyodorkan tangannya ke arah Kahn dan memeluknya.


"Trofi emas itu diserahkan kepada kapten Brasil, Cafu, yang disertai konfeti serta 'hujan' 2,7 juta kertas di atas lapangan. Kapten sekaligus kiper Jerman, Kahn, terduduk lesu di tiang gawang menyaksikan momen kejayaan serta kegembiraan timnas Brasil. Lalu ada sebuah momen yang menghentakkan jutaan penonton di dunia. Cafu menyalami Kahn dan mereka berpelukan. Ini adalah momen yang mewakili semangat sejati dari olahraga," demikian isi penggalan dalam prasasti tersebut.



Setelah sebentar mengelilingi stadion, kami pun mengambil kursi untuk menonton pertandingan. Bagi orang yang tinggal di daerah tropis, suhu udara yang mencapai sekitar 5-7 derajat celcius tentu terasa begitu mengganggu. "Perlengkapan tempur" mulai dari jaket tebal, syal, hingga sarung tangan, tidak serta-merta mengimunkan badan dari rasa dingin itu.

Sialnya, awal pertandingan berjalan tanpa greget. Aksi Andres Iniesta dkk. tidak langsung menghangatkan stadion. River bermain dengan disiplin, mereka memenuhi area di antara lini belakang dan lini tengah dengan banyak pemain. Tak jarang juga mereka menekan pemain Barca yang sedang menguasai bola – betul-betul khas tim-tim Amerika Latin. Ini sempat membuat Barca kesulitan untuk masuk ke dalam kotak penalti.

Dalam cuaca sedingin itu, saya sampai menguap beberapa kali dan berjuang keras untuk menahan rasa kantuk yang mulai menyergap – terutama jika mengingat kembali harga tiket untuk bisa masuk stadion ini.

Untunglah berikutnya pertandingan mulai seru. Apalagi saat Lionel Messi menjebol gawang River beberapa menit sebelum turun minum – lewat gol yang diawali sebuah umpan silang. Seketika stadion sangat bergemuruh, puluhan ribu penonton bangun dari tempat duduknya, yang mengalirkan sedikit kehangatan di dalam stadion.

Sejak itu tensi meningkat. Tambahan dua gol dari Luis Suarez membuat duel ini dapat nilai plus, karena tiga gol dalam sebuah pertandingan sepakbola semestinya cukuplah memuaskan penonton. Jangankan 0-0, skor 1-0 pun terkadang menyebalkan, bukan?


Usai pertandingan kami pun segera bergegas untuk kembali ke Tokyo, menceburkan diri dalam hiruk-pikuk orang-orang Jepang yang pulang dengan tertib, di luar stadion, di jalanan, sampai di dalam kereta, meladeni udara yang semakin dingin dengan bertambah larutnya malam. Tengah malam kami sampai hotel, merasa-rasai lagi pengalaman menonton pertandingan tadi, di dalam kamar yang berpenghangat.

0 comments :

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.

Back To Top